Pada tahun 2022 ini Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad akan memasuki usia 70 tahun. Menurutnya, banyak pembelajaran hidup yang mungkin tidak ada manfaatnya jika hanya disimpan dalam memorinya saja. Karena itu membuat buku adalah satu jawaban yang bijaksana agar beragam pembelajaran hidup yang terbentang dalam kurun waktu 70 tahun yang dijalaninya bisa menjadi pembelajaran juga bagi orang lain (pembacanya). Ia menyebutkan, membuat buku bukan untuk menunjukkan seberapa besar kesuksesannya. Dengan mengutip pendapat gurunya, ia menyebutkan bahwa setiap orang adalah bahan pembelajaran bagi orang lain baik keberhasilannya maupun kegagalannya. Maka ia pun menulis buku ini, sebuah buku semi-biografi yang mungkin lebih cocok disebut sebuah memoar.
Fadel Muhammad dilahirkan di Ternate pada 20 Mei 1952. Ia memiliki nasab dari Gorontalo karena ayahnya, Muhammad bin Muchsin Al Hadar, berasal dari sana. Ayahnya yang ia panggil Abah itu adalah seorang guru dan tokoh agama di Gorontalo dan juga pedagang antar-pulau. Yang diperdagangkannya antara lain barang-barang kelontong. Dalam hal berdagang jangkauannya sampai ke Palu di sebelah barat daya, sampai ke Manado di sebelah timur laut, hingga menyeberangi Laut Maluku untuk sampai ke Pulau Ternate di sebelah timur.
Di tiap daerah yang disinggahinya Abah menjalin persahabatan yang erat dengan mitra-mitra dagangnya. Di Palu bersahabat dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan Guru Tua, pendiri Alkhairaat. Persahabatan itu sampai-sampai membuat Abah ikut mendirikan Yayasan Alkhairaat Ternate yang merupakan cabang Alkhairaat Palu dan menjadi ketuanya. Di Manado bersahabat dengan Habib Salim bin Jindan seorang mitra bisnis yang persahabatannya begitu lekat. Sedangkan di Kota Ternate, Abah juga bersahabat dengan tokoh masyarakat setempat yang bernama Salim Al Hadar.
Salim Al Hadar tak sekadar mitra bisnis dan sahabat. Abah kemudian menikahi anak perempuannya yang bernama Fatma yang tak lain kelak menjadi ibu Fadel Muhammad. Jika kepada ayahnya Fadel memanggil Abah, pada kakek Salim ia memanggilnya Abah Sa. Abah dan Abah Sa ini memberikan dasar pendidikan agama yang kuat pada diri Fadel dan juga wawasan pengetahuan umum yang luas. Kebetulan Ternate adalah kota perjuangan bangsa Indonesia dan banyak tokoh-tokoh nasional yang berkunjung ke Ternate ketika Fadel masih kecil. Di antara yang datang ke sana adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan sejumlah menterinya.
Kehadiran para tokoh nasional itu membanggakan rakyat Ternate. Abah Sa sering menceritakan siapa itu Soekarno dan Moh. Hatta. Menurut Abah Sa pada Fadel kecil, Soekarno-Hatta adalah para pelaku sejarah di Indonesia. Istilah “pelaku sejarah” itu cukup terngiang-ngiang di telinga Fadel kecil. Apalah ketika di Amerika Serikat lahir Presiden termuda saat itu, John F. Kennedy, sang kakek juga menceritakan bahwa Kennedy juga pelaku sejarah. Abah Sa bahkan mendorong Fadel agar juga bisa menjadi pelaku sejarah kelak kalau sudah dewasa.
Rupanya dorongan sang kakek agar dirinya menjadi pelaku sejarah itulah yang membuat Fadel memiliki cita-cita berbeda dengan anak-anak Ternate pada umumnya saat itu. Dengan prestasi sebagai siswa terbaik di sekolahnya sejak SD hingga SMA, Fadel ingin melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) agar bisa meraih gelar insinyur seperti halnya Soekarno yang juga lulusan ITB.
Pada awalnya cita-cita itu mendapat penentangan dari ayahnya. Abah justru menginginkan Fadel menjadi guru agama, lalu melanjutkan pendidikan di Alkhairaat Palu dan mengharapkan menjadi pengurus Yayasan Alkhairaat. Perbedaan harapan itu sempat membuat Fadel gamang. Namun atas dorongan ibunya dan kakeknya, akhirnya Fadel tetap bersikukuh untuk kuliah di ITB.
Akhirnya selulus SMAN 1 Ternate, Fadel pergi ke Bandung dengan menggunakan kapal Tampomas. Perjalanan hampir dua minggu itu akhirnya mengantarkannya hingga di Bandung. Meskipun masuk ITB harus mengikuti seleksi dan saingannya berat, ia tetap bersikukuh mendaftar. Hanya saja, pendaftarannya sempat terhalangi persyaratan yang harus menyertakan ijazah asli, padahal pada saat meninggalkan Ternate, Fadel hanya berbekal tanda lulus, belum mendapat ijazah. Ketika ia tidak bisa mendaftar, Fadel dengan berani meminta bertemu pimpinan ITB. Tak hanya menghadapi panitia penerimaan mahasiswa, yang ia temui justru Rektor ITB saat itu, Doddy Tisna Amidjaja. Mungkin Fadel satu-satunya calon mahasiswa yang berani menghadap rektor ITB untuk meminta dispensasi agar boleh mendaftar hanya dengan surat tanda lulus SMA. Ternyata Doddy mengabulkan permintaannya. Bahkan dispensasi tidak hanya bagi Fadel namun juga bagi calon mahasiswa luar Jawa yang belum memperoleh ijazah asli, boleh mendaftar ITB dengan surat keterangan lulus SMA.
Fadel akhirnya diterima di Falkultas Teknik Industri, Departemen Teknik Fisika. Selama menjadi mahasiswa ia aktif di berbagai kegiatan. Untuk membiayai hidup bahkan sempat menjadi sopir penjemput tamu ITB. Ia juga aktif di koperasi, Dewan Mahasiswa ITB, majalah kampus, dan lain-lain. Meskipun kegiatannya banyak, ternyata prestasi belajarnya baik. Pada tahun 1975 Fadel Muhammad terpilih menjadi mahasiswa teladan nasional dari ITB.
Oleh kawan-kawannya ia disebut pandai mencari uang. Koperasi ITB yang ditanganinya dijadikan sebagai pembentuk jiwa entrepreneurnya. Tak hanya sebagai lahan pembelajaran berbisnis bagi dirinya, tetapi juga bagi teman-temannya. Nyaris apa pun yang ia kelola dan memiliki program bisnis, ia kembangkan layaknya lembaga bisnis swasta. Ketika mengelola majalah kampus Scientiae, majalah yang semula dicetak stensilan itu dikembangkan menjadi majalah umum yang mewah. Sponsor pun berdatangkan. Dan berkat kepintarannya melobi sponsor, ia sampai sempat keliling dunia bersama dua kawannya di ITB, Erlangga Ibrahim dan Ahmad Kalla, putra pendiri CV Haji Kalla di Makassar, dengan biaya dari sponsor.
Setelah lulus ITB tahun 1978, Fadel sudah bulat tidak akan bekerja di perusahan orang kendatipun beberapa perusahaan multinasional terbuka menerimanya. Ia justru mengajak teman-temannya membangun usaha sendiri. Berdirilah PT Bukaka Teknik Utama pada Oktober 1978. Bersama Bukaka inilah ia memulai kariernya yang dimulai dari mengembangkan bisnis hingga akhirnya bersentuhan dengan politik.
Selain kariernya di bidang bisnis sukses, ia juga sukses menjadi pimpinan di puluhan beragam organisasi, mulai dari organisasi sosial, bisnis, keagamaan, profesi, dan politik. Di organisasi sosial dan keagamaan ia ikut menjadi pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Ketua Yayasan Alkhairaat Palu. Di organisasi bisnis hingga aktif di Kadin sampai menjadi Wakil Ketua Umum Kadin. Di politik ia aktif di Partai Golkar hingga menjadi Wakil Ketua Umum Golkar. Di politik inilah ia terpilih menjadi anggota MPR RI (1992-1997 dan 1997-1999) dari utusan golongan pengusaha dan utusan daerah, menjadi anggota DPR RI (2014-2019), anggota DPD RI hingga menjadi Wakil Ketua MPR RI (2019-2024). Tidak hanya di legislatif, Fadel juga terpilih menjadi Gubernur Provinsi Gorontalo selama dua periode (2001-2006 dan 2007-2009). Sukses menjadi Gubernur, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ia terpilih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (2009-2011).
Namun, yang makin membuatnya bangga, ternyata meski di tengah kesibukannya dalam beragam kegiatan itu, ia tetap menyempatkan diri menjadin guru. Harapan ayahnya agar ia menjadi guru agama tidak pernah terhapus dari ingatannya. Maka, selama di ITB ia sering ceramah agama. Ketika menjadi pengusaha ia juga menyempatkan diri menjadi penceramah agama dan memasuki organisasi dakwah tingkat nasional dan menjadi pengurusnya, yakni Ketua DPP Majelis Dakwah Islamiyah Bidang Kepemudaan (1989-1994). Ini adalah upaya memenuhi cita-cita Abahnya menjadi guru agama.
Rupanya menjadi guru terus dikembangkannya. Pada dekade 2000-an Fadel Muhammad mulai menekuni bidang pendidikan dengan menjadi dosen tidak tetap bidang kewirausahaan di beberapa universitas. Bersamaan dengan itu ia meneruskan studinya hingga menjadi Doktor dari UGM pada 2007. Pada 2018 ia dinobatkan menjadi Guru Besar Kewirausahaan Bidang Pelayanan Publik di Universitas Brawijaya, Malang, dengan meraih gelar profesor. Dialah profesor pertama di bidang itu di Indonesia. Dengan gelar profesornya itu, ia seperti menuntaskan harapan Abahnya. Ia kini sudah menjadi guru dalam versi yang lebih besar. Uniknya, apa yang diraihnya hingga kini menjelang 70 tahun, ia juga seperti menuntaskan keinginan kakeknya, Abah Sa, yang dulu sempat mendorongnya agar dia jadi pelaku sejarah di Indonesia.
Buku ini menggambarkan bagaimana perjuangan seorang Fadel Muhammad dari daerah terpencil di Ternate, dengan kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan hingga menjadi tokoh nasional yang juga diakui dunia. Mungkin itulah kenapa ia menulis buku ini dengan judul “Building A Legacy” karena pada dasarnya ia juga sudah menorehkan legacy (warisan) pembelajaran hidup, kerja keras, sikap optimis, bagai siapa saja yang mengenalnya. Menurutnya, hal terpenting dalam hidup adalah jangan pernah berhenti belajar. Sukses hidup hanyalah akibat dari ketekunan menjalani hidup dengan prinsip terus belajar.
***
Kamis, 26 Mei 2022
Beli di Market Place :
| Tokopedia
| Shopee
Versi eBook :
| Playstore
| Google Book
Tentang Penulis
Prof. Dr. Ir. FADEL MUHAMMAD
Fadel Muhammad (FM) Putra Gorontalo lahir di Ternate, Indonesia, pada 20 Mei 1952. Lulusan Insinyur Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Fisika Teknik. Seorang mahasiswa yang berprestasi dengan Penghargaan Mahasiswa Luar Biasa pada 1975. Pada 2007, FM memperoleh gelar Doktor (predikat Cumlaude) di bidang Administra...
Buku Lainnya
DILEMA BUMN
| Store Rayyana Diskon 27%
| Diskon 25% | Diskon 25%
| Playstore | G Book