Jika pada era digital seperti saat ini suatu perusahaan mewajibkan karyawannya rutin menyanyikan lagu mars, akan banyak yang “menertawakan”. Dari internal perusahaan, bisa jadi mereka akan menolak. Jangankan menyanyikannya secara rutin, perusahaan yang memiliki lagu mars saja dinilai kuno dan ortodoks. Boleh jadi, ada pula anggapan bahwa karyawan yang ikut menyanyikan lagu mars perusahaan sama saja dengan ingin menunjukkan kalau dirinya tidak profesional.
Profesional sering diartikan sebagai pihak yang berorientasi hasil dan dapat dispensasi untuk tidak mengikuti aturan kerja baku. Di sejumlah perusahaan, pimpinan yang dianggap kaum profesional tergambar dari datangnya yang lebih siang. Sementara itu, staf tak boleh telat. Sepuluh menit sebelum waktu kerja harus sudah siap di meja. Ketika perusahaan mewajibkan karyawannya memakai seragam, kaum profesional boleh mengenakan baju sesuai seleranya sepanjang masih mengikuti batas kesopanan (tidak seragam). Begitupun perusahaan-perusahaan yang hanya berorientasi hasil, aturan perusahaan tidak baku, yang penting hasil kerja maksimal. Lihatlah pekerja di Google, Facebook, atau perusahaan teknologi lain, yang karyawannya bisa ngantor hanya memakai kaos. Namun, hasil kerja mereka melebihi kaum berdasi. Jadi, buat apa lagu mars?
Pertanyaan sederhana, namun menukik seperti itu adalah bagian kecil dari pembahasan buku ini. Di dalamnya disajikan pula jawaban atas pertanyaan tersebut. Khususnya terhadap apa yang terjadi di Telkomsel.
Pada pembahasan lagu Mars, misalnya, dijelaskan bahwa ketika Telkomsel memperkenalkan “Mars Telkomsel” pada akhir tahun 2012, banyak karyawan yang mempertanyakan. Apakah di era sekarang hal itu masih tepat. Padahal perusahaan tak meminta setiap Senin pagi seluruh karyawan berdiri menyanyikan “Mars Telkomsel”. Hanya pada momen-momen tertentu yang sifatnya “sakral”. “Mars Telkomsel” wajib dinyanyikan sebagai pembukaan dalam suatu event atau acara korporat, dimaksudkan untuk memupuk rasa cinta terhadap perusahaan.
Dan ternyata, pengenalan lagu “Mars Telkomsel” adalah satu bagian dari upaya transformasi budaya yang masuk dalam upaya mengembangkan spirit terhadap karyawan. Untuk mendukung analisa itu, di buku ini juga dikemukakan tentang apa yang terjadi di dunia global.
Memang, di dunia, tak banyak yang memiliki lagu mars perusahaan. Namun, sejumlah perusahaan besar yang karyawannya banyak (ribuan) memiliki lagu mars atau corporate song. Hasil kajian terhadap hal itu menunjukkan bahwa ada hubungan antara mars dengan upaya membangun budaya perusahaan (corporate culture) yang kelak menjadi pemersatu dan pendorong semangat kerja karyawan perusahaan bersangkutan, bahkan menjadi budaya yang dijadikan benchmark perusahaan-perusahaan lain.
Salah satu contohnya adalah IBM (International Business Machines). Founder IBM Thomas J. Watson-lah yang meminta karyawannya menciptakan corporate songs serta memilih anthem dan mars perusahaan untuk membangun budaya internal IBM. Ketika itu jumlah karyawan IBM makin membengkak seiring pertumbuhan perusahaan yang begitu pesat.
Selain berupa Mars, IBM juga meningkatkan loyalitas karyawannya dengan mengadakan kegiatan olahraga, piknik keluarga, hingga membentuk band perusahaan sebagai sarana hiburan. Semua itu ia namakan spirit positif yang terkenal: THINK! Hasilnya, revenue perusahaan berlipat menjadi US$9 juta. Pasarnya berkembang hingga ke mancanegara.
Tranformasi Bisnis ICT
Telkomsel perusahaan yang tidak setua IBM. Bahkan relatif sangat muda. Baru 20 tahun. Namun, dinamika yang terjadi di dalamnya sungguh luar biasa. Dan tentunya ini tidak bisa dilepaskan dari manusia yang ada di dalamnya. Mengelola manusia di Telkomsel tentu menjadi sebuah kajian yang penuh dengan pembelajaran. Sejajar, bahkan bisa jadi tidak kalah, dengan perusahaan ‘besar’ di tingkat global.
Pada awal perkembangannya, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri ICT (Information and Communication Technologies) menginvestasikan dana dan perhatiannya paling besar untuk bidang teknologi. Namun, dalam perjalanannya kemudian, teknologi menjadi sesuatu yang umum sehingga siapa pun bisa memilikinya. Ketika kondisi ini terjadi perusahaan-perusahaan ICT tidak lagi bersaing hanya dengan mengandalkan teknologi yang dikembangkannya melainkan juga dengan sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Karena pentingnya faktor people ini, SDM sudah dianggap modal. Oleh karena itu SDM kemudian mendapat label sebagai human capital.
Ketika Alex J. Sinaga diangkat menjadi Direktur Utama Telkomsel (sekarang Dirut PT Telkom) pada pertengahan tahun 2012, di awal jabatannya ia sudah mencanangkan bahwa engine utama Telkomsel tak lagi teknologi melainkan people. Telkomsel kemudian melakukan transformasi yang meliputi empat bidang yaitu transformasi bisinis, transformasi people, transformasi culture, dan transformasi organisasi. Transformasi inilah yang menjadi senjata Telkomsel untuk berubah dari Telkomsel 1.0 (telecommunication company – Telco) menjadi Telkomsel 2.O (perusahaan digital – digital company).
Karena people menjadi engine utama, maka pengelolaan human capital menjadi aktor penting sukses-tidaknya transformasi Telkomsel. Karena perhatian terhadap people ditingkatkan, untuk pertama kalinya Telkomsel mengangkat seorang Direktur Human Capital Management (HCM) pada pertengahan tahun 2012. Sehingga seorang pimpinan HCM yang semula di bawah direktur utama kini menjadi setara dengan direktur lain di Telkomsel.
Direktur HCM pertama Telkomsel adalah Herdy Harman, penulis buku ini. Buku ini menjadi catatan penting tak hanya bagi Telkomsel dalam skema baru pengelolaan human capital-nya, tetapi menjadi semacam benchmark, inspirasi, pengetahuan, bahkan menjadi bahan pembelajaran pengelolaan human capital di Indonesia. Lebih dari itu, secara bisnis Telkomsel adalah perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki asing sehingga ada perbauran kultur pengelolaan human capital antara pola pengelolaan SDM dengan kultur lokal dan kultur asing yang bisa di-sharing dari pengalaman penulis.
Sisi lain yang menarik, penulis, melalui buku ini, dalam penyajiannya berusaha tidak menggurui pembacanya mengenai teori, tips atau trik mengelola people. Penulis mengemukakan apa adanya mengenai langkah-langkah yang telah dilakukannya di Telkomsel. Dengan demikian, cerita atau pemaparannya di buku ini menjadi unik dan genuine.
The Telkomsel Way
Ketika Telkomsel memutuskan untuk melakukan transformasi dari Telco ke digital company, pertanyaan awalnya adalah, siapkah SDM Telkomsel yang berjumlah 4.800-an orang menjalankannya? Di industri digital mindset-nya berbeda dengan industri telekomunikasi. Sangat sulit mengharapkan perusahaan bisa sukses menjalankan bisnis digital jika masih menggunakan mindset lama sebagai perusahaan telekomunikasi. Oleh karena itu, betapa pentingnya melakukan transformasi people.
Konsep dasar melakukan transformasi people ini, menurut penulis, adalah bagaimana agar 4.800-an people yang dimiliki Telkomsel mampu mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk menjadikan Telkomsel menjadi perusahaan digital. Konsep perusahaan digital sendiri, tidak berarti Telkomsel berubah haluan bisnis dengan melepaskan bisnis utama sebagai Telco murni, melainkan mendongkrak kontribusi sektor bisnis digital yang semula kurang dari 33% menjadi lebih dari 33%. Sehingga komposisi pendapatan industri telekomunikasi seluler Telkomsel dan digital business-nya lambat laun menjadi berimbang.
Untuk membuat setiap insan Telkomsel mampu mengerahkan kemampuan terbaiknya itu tak bisa dilakukan hanya dengan menyusun SOP (Standard Operating Procedure) sedetail dan sebaik mungkin di tiap satuan tugasnya. Kemampuan terbaik seseorang ditentukan oleh karakter, sikap, daya juang, antusiasme, dan sebagainya. Komponen ini tak lain adalah komponen budaya (culture). Untuk itulah maka, selain melakukan transformasi people, culture-nya pun harus ditransformasi sehingga lahirlah corporate culture ideal Telkomsel.
Dari mana corporate culture ideal itu didapat? Pertama, dengan melihat kultur apa yang selama ini sudah ada di Telkomsel. Mana yang sudah kuat dan mana yang masih lemah. Perumusan corporate culture inilah yang kemudian terhimpun dalam The Telkomsel Way.
Have Fun
Kalau sudah punya corporate culture seperti itu, people-nya sudah menjadi great people, maka urusan organisasi menjadi simpel. Ada filosofi yang mengatakan bahwa “Organization follows strategy”. Maka organisasi otomatis sebagai impact dari transformasi bisnis, people, dan culture.
Oleh karena itu, kalau orangnya sudah great people, organisasi diubah-ubah pun, lokasi kerja berubah-ubah, hasilnya tetap great company. Itulah sebabnya ketika 1.300-an orang Telkomsel di kantor pusat dipindahkan ke daerah, tidak terjadi gejolak. Setiap orang mengerti tugasnya dan setiap orang tetap memberikan kontribusi terbaiknya.
Melalui buku ini penulis mencoba berbagi pengalaman bagaimana membangun kultur di Telkomsel dengan bersandar pada The Telkomsel Way. Di antara yang dikembangkannya adalah membangun suasana bekerja di Telkomsel yang asyik, tidak kaku, have fun, bahkan tata ruang pun diubah. Dalam soal berpakaian, tidak selalu harus memakai dasi. Karyawan bahkan bisa ngantor dengan mengenakan kaos dan celana jins.
Dasar dari konsep ini, menurut penulis, kemampuan terbaik seseorang akan muncul jika ia bekerja dengan senang. Oleh karena itu, Telkomsel menyediakan tempat kerja yang menyenangkan baik ruang kerja, tata kelola, kultur, remunerasi, peluang pendidikan, kenyamanan, dan sebagainya. Hal ini membuat Telkomsel menjadi salah satu perusahaan idamanan anak-anak muda yang cari pekerjaan. Hal ini pula yang membuat Telkomsel menjadi perusahaan yang turn-over karyawannya rendah. Tak banyak karyawan Tekomsel yang mengundurkan diri. Bekerja di Telkomsel lebih terjamin baik suasana, pendapatan, maupun jenjang karier masa depannya. Apalagi untuk mendukung ini Telkomsel kini (sedang mempersiapkan) menempati gedung baru yang memungkinkan The Telkomsel Way bisa dijalankan lebih sempurna.
Secara umum buku Strongest by Best People ini mengupas. Pertama, bagaimana pengalaman Telkomsel membangun people yang dimilikinya hingga menjadi The Best People melalui berbagai program yang dijalankannya. Kedua, pengalaman membangun corporate culture The Telkomsel Way. Dan yang ketiga, bagaimana membangun organisasi baru melalui transformasi organisasi agar Telkomsel selalu menjadi The Winner.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang simpel, mudah dicerna, tidak mendoktrin atau menggurui. Sehingga membacanya seperti mendengar sebuah cerita yang menarik dan inspiratif di bidang manajemen human capital di Indonesia. Ini berbeda dengan buku-buku manajemen human capital lainnya yang pada umumnya penuh dengan teori.
Disamping layak dibaca oleh keluarga besar Telkom, buku ini sangat cocok di konsumsi oleh mereka yang bergerak di sektor pengelolaan SDM di semua lini industri. Tentunya yang lebih pas di industri Telekomunikasi dan ICT. Juga dunia akademik, konsultan bidang SDM dan mereka yang minat pada dunia psikologi.
Minggu, 01 Maret 2015
Beli di Market Place :
| Tokopedia (Diskon 25%)
| Shopee (Diskon 25%)
Versi eBook :
| Playstore
| Google Book
Tentang Penulis
Herdy Harman, S.H., MBA, LLM
Herdy harman : Lelaki kelahiran Bandung, 28 Juni 1963 ini adalah praktisi pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang bisa dikatakan mumpuni. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1986 dan peraih Master of Business Administration dari MBA Bandung – AIM Philipines, c.q Telkom University serta Master......
Buku Lainnya
DILEMA BUMN
| Store Rayyana Diskon 27%
| Diskon 25% | Diskon 25%
| Playstore | G Book