KORUPSI menjadi musuh bersama. Ada banyak cara dalam melawan korupsi. Salah satunya dengan cara yang Tanpa Gaduh. Apa maksudnya? Yaitu melawan korupsi melalui penegakan hukum yang sesuai dengan rule of the game, tata krama, adat istiadat, dan ajaran agama yang menuntun umatnya untuk berpikiran jernih, amanah, adil dan jujur.
Negara yang baik tergantung pada penegak hukumnya. Penegak hukum yang tidak baik merupakan potret negara yang tidak baik, tandanya bahwa penegak hukumnya masih bisa diatur dan gampang dipengaruhi. Penegak hukum itu meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik), Kejaksaan Republik Indonesia (Penuntut Umum), lembaga peradilan, termasuk advokat.
Fenomena yang terjadi saat ini, keprihatinan terhadap penanganan perkara korupsi kerap lebih menekankan magnitude-nya sebagai ‘berita besar’, namun belum secara efektif memberantas akar dari korupsi itu sendiri. Padahal penanganan korupsi yang dilaksanakan dengan gaduh berpotensi untuk tidak mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Keprihatinan bahwa hal tersebut dapat menjadi pemicu berkurangnya wibawa dan martabat pengadilan sebagai benteng masyarakat untuk memperoleh keadilan hukum.
Efektifitas penanganan perkara korupsi tidaklah ditentukan oleh ekspose secara massif, melainkan terletak pada kecerdasan dan ketelitian para penyidik, jaksa dan hakim dalam membuktikan dugaan korupsi dan menegakkan hukum seadil-adilnya.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita yang setiap tahun dilaporkan oleh Transparency International masih berada di level yang belum membanggakan. Kita berada di peringkat 96 dari 180 negara pada tahun 2017, turun dari peringkat 90 pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 peringkat IPK Indonesia hanya membaik sedikit ke peringkat 89. Skor IPK kita pun dapat dikatakan jalan di tempat yaitu sebesar 37 pada tahun 2017, sama seperti tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 membaik sedikit menjadi 38, tetapi masih sangat jauh dari target KPK yaitu 50.
Di tengah masalah korupsi yang terus ‘menggila,’ publik haus dan merindukan terbongkarnya kasus-kasus besar. Dan karena korupsi merupakan extraordinary crime, diharapkan pemberantasannya harus pula dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary enforcement). Di tengah tuntutan yang demikian disertai tingginya rasa ingin tahu publik terhadap penanganan kemajuan korupsi, Aparat Penegak Hukum dapat tergoda memunculkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak diperlukan.
Popularitas vs Subtansi
Buku ini hadir untuk mengajak pembaca, khusus para penegak hukum untuk berhati-hati agar jangan sampai popularitas penanganan kasus mengalahkan substansi. Idealnya para penegak hukum fokus pada duduk perkara dan bukti-bukti yang ada. Tujuan utama pengungkapan kasus adalah menegakkan hukum, yaitu menghukum orang yang bersalah dengan seadil-adilnya dan membuat para pelaku mengakui dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Untuk dapat melawan korupsi tanpa gaduh dan tanpa tergoda untuk populer, aparat penegak hukum, baik jaksa, hakim, polisi maupun aparatur KPK harus terlebih dahulu dapat meyakinkan publik akan integritas dan rekam jejak mereka. Aparat penegak hukum harus dapat meraih trust masyarakat.
Dukungan publik terhadap pemberantasan korupsi sepatutnya diperoleh dengan cara penegakan hukum yang benar, transparan dan sesuai dengan norma-norma, walaupun mungkin harus dengan langkah-langkah yang tidak populer. Termasuk melakukannya dengan cepat. Penanganan perkara korupsi seyogyanya dilakukan dengan cepat dan tidak dilama-lamakan. Melama-lamakan perkara menjadikannya semakin susah ditangani atau ‘masuk angin.’ Semakin tidak cepat ditangani semakin berat untuk mengendalikannya. Untuk itu perlu peningkatan sinergitas aparat penegak hukum baik secara individu maupun kelembagaan.
MoU antarlembaga penegak hukum dalam penanganan korupsi diharapkan mendorong sinergitas tersebut dalam bentuk saling menghormati oleh lembaga-lembaga yang menandatanganinya. Disisi lain, kewenangan Lembaga Penegak Hukum, khususnya Kejaksaan, dalam penanganan perkara korupsi diharapkan diperkuat. Perkuatan tersebut meliputi anggaran, kewenangan dan landasan konstitusional.
Jangan Sampai ‘Kehilangan’ Legitimasi
Dalam buku ini ditegaskan bahwa kata kunci dalam melawan korupsi tanpa gaduh adalah penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan pilar penting bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang bersih tidak bakal terwujud tanpa adanya jaminan penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen serta berjalan atas dasar prinsip keadilan, keterbukaan dan nondiskriminatif.
Penegakan hukum yang lemah hanya akan membuat instrumen hukum menjadi kehilangan legitimasi sebagai norma pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum yang tidak lagi dihormati akan memunculkan budaya politik kekuasaan ketika hukum tunduk kepada penguasa dan mengabaikan kepentingan keadilan masyarakat.
Kepemimpinan yang jujur, kuat dan bersih, dalam penegakan hukum sangat menentukan. Pemimpin atau khalifah akan dituntut pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat. Pimpinan diharapkan menjadi teladan yang baik, tidak greedy, rakus, disiplin, taat azas, dan memberikan contoh dalam keseharian mereka.
Memoar Jaksa
Bagi penulis buku ini, menjadi jaksa adalah panggilan. Buku ini merupakan kesaksian tentang perjalanan seorang hamba hukum yang menghayati tugasnya bukan semata karena kekuatan dirinya sendiri, melainkan karena diridhoi dan dibimbing Allah.
Buku ini diharapkan bisa memberi kontribusi gagasan kepada setiap warga negara memiliki aspirasi tentang bagaimana sebaiknya negara dan bangsanya dikelola, khususnya dalam penegakan hukum. Dengan membaca buku ini diharapkan dunia penegakan hukum, khususnya profesi jaksa, semakin dikenal oleh masyarakat, terutama dari perspektif ‘orang dalam’ atau pelaku profesi tersebut.
Kisah hidup (memoar) dan gagasan dalam buku ini juga diharapkan mendorong generasi muda menggeluti dunia penegakan hukum. Di dalam buku ini dipaparkan tentang perjalanan hidup seorang anak desa, yang sejak kecil bercita-cita jadi Jaksa. Memoar ini berisi sketsa-sketsa mulai dari masa kecil dan masa-masa pembentukan karakter meliputi latar belakang keluarga, suka, duka, lucu dan konyol masa di masa kecil, kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua yang membekas sampai saat ini, kenangan paling mendalam dari teman, guru dan orang tua yang menjadi pelajaran dalam kehidupan.
Juga berisi tentang Catatan-catatan dan ingatan sepanjang berkarier sebagai jaksa, baik pada proses awal sebagai jaksa junior, kemudian menjadi Kajari, Atase Kejaksaan, Kajati, Jampidsus dan Jamwas. Bagian ini juga mencakup aktivitas sebagai akademisi (dosen dan profesor).
Di dalam buku ini disuguhkan sejumlah karya tulis penulis dalam bahasa yang lebih sederhana dan populer. Ini didasarkan pada delapan buku yang sudah terbit maupun atas tulisan-tulisan, wawancara, maupun ceramah yang penulis sampaikan di berbagai kesempatan.
Selasa, 01 Mei 2018
Beli di Market Place :
| Tokopedia (Diskon 25%)
| Shopee (Diskon 25%)
Versi eBook :
| Playstore
| Google Book
Tentang Penulis
Prof. Dr. R. Widyopramono, S.H., M.M., M.Hum
Prof. Dr. R. Widyopramono, S.H., M.M., M.Hum. Lahir di Nganjuk, Jawa Timur, 7 Agustus 1957. Karier terakhirnya sebagai Jaksa Agung Muda Pengawasan. Sebelumnya menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, dan berbagai jabatan lain. Gelar Sarjana Hukum diraihnya dari Universitas Sebelas Maret (UNS) – Surakarta, Master Hukum dari Universitas G...
Buku Lainnya
DILEMA BUMN
| Store Rayyana Diskon 27%
| Diskon 25% | Diskon 25%
| Playstore | G Book